Benang Kusut Korupsi Parpol
Lance Castles pernah mengatakan, dunia modern, disamping disebut sebagai
The Age of Nation-State (Zaman negara-bangsa), bisa juga dijuluki
sebagai The Age of Parties (Zaman Partai Politik) [Castles:1999]. Hal
ini mengacu pada geliat sistem politik yang diberlakukan oleh semua
negara dunia yang tak bisa lepas dari partai politik sebagai salah satu
unsur utama penyanggah jalannya pemerintahan. Ada yang menggunakan
sistem dua partai, multi partai, partai tunggal, atau partai dominan.
Dalam
konteks Indonesia, pernyataan Castles mendapatkan penegasan. Peran
parpol di Indonesia pascareformasi, mencengkeram amat kuat. Segala
bentuk kegiatan politik, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan kepala
daerah, pemilihan pejabat publik, hingga pembuatan kebijakan-kebijakan
strategis lainnya, tak bisa lepas dari keterlibatan parpol. Bahkan dalam
urusan bisnis pun, parpol memiliki pengaruh dominan dalam menguasai
sumber ekonomi.
Melihat dominasi peranan parpol di segala sendi
tersebut, tak begitu mengherankan apabila kemudian banyak penyelewengan
(korupsi) yang diperbuat oknum parpol. Ada adagium populer, power tend
to corrupt, absolute power corrupt absolutley. Dan isu akhir-akhir ini
yang menyeret nama Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, dalam
kasus suap pembangunan sarana sea games di Palembang, adalah gambaran
permukaan tentang kebenaran adagium tersebut. Seperti kita tahu, Partai
Demokrat adalah rulling party yang memiliki kekuasaan cukup mapan.
Lembaga terkorup
Di
Indonesia, korelasi antara parpol dan korupsi bisa diibaratkan dua sisi
koin. Keduanya memiliki hubungan yang cukup erat. Setidaknya, hal itu
tercermin dari hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi
Indonesia. Selama empat tahun, yakni 2003, 2004, 2007, dan 2008, survei
tersebut menempatkan partai politik sebagai lembaga terkorup dalam
persepsi publik di Indonesia.
Data Transparency International
menunjukkan, pada survei tahun 2003, partai politik tercatat sebagai
lembaga terkorup setelah lembaga peradilan. Setahun berikutnya, 2004,
partai politik dan parlemen menempati posisi pertama. Bahkan, pada tahun
yang sama, Transparency International mengumumkan, sebanyak 36 dari
total 62 negara sepakat menyatakan bahwa partai politik adalah lembaga
terkorup.
Dalam konteks Indonesia, hasil survei tersebut teramini
kala KPK aktif melakukan upaya pemberantasan korupsi. Banyak petinggi
parpol yang harus berurusan dengan lembaga ini karena terindikasi korup.
Kita tentu masih ingat kasus Al-Amin Nasution, Bachtiar Chamzah, kasus
Miranda Gultom yang kemudian menyeret 19 politisi dari berbagai parpol.
Dan tentu yang paling anyar adalah kasus yang melibatkan nama Bendahara
Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, terkait kasus suap pembangunan
sarana Sea games di Palembang. Pertanyaannya, kenapa ini bisa terjadi?
Salah
satu analisis yang bisa dimunculkan terkait korupnya lembaga parpol,
bisa ditelusuri dari sumber pendanaannya. Saat ini, parpol masih sangat
tergantung pada sumbangan perusahaan atau perorangan dalam menjalankan
kegiatannya. Bisa difahami, semakin besar sumbangan seseorang atau
perusahaan terhadap parpol tertentu, sejalan dengan itu kekuasaan dan
pengaruh penyumbang menjadi cukup besar di parpol bersangkutan. Itu
artinya, ia bisa dengan mudah menggunakan parpol sebagai alat untuk
kepentingan sang penyumbang.
Nahasnya, UU Parpol yang baru malah
memberi ruang yang cukup lebar terhadap para penyumbang untuk makin
menegaskan posisinya. Batas dana sumbangan dari perusahaan yang awalnya
hanya dibatasi maksimal Rp4 miliar pada pemilu 2004, kini jumlahnya
dinaikkan menjadi Rp7,5 miliar pada pemilu 2014. untuk sumbangan
perseorangan, kini boleh menyetor ke rekening partai hingga Rp1 miliar.
Dengan ketentuan ini, parpol akan didominasi oleh mereka yang memiliki
kapital yang besar. Sejalan dengan itu, tentu pengaruh mereka juga makin
kuat terhadap parpol untuk memuluskan segala keinginan, salah satunya
menguasai sumber ekonomi.
Ekeses negatif lain dari besarnya
sumbangan yang diperbolehkan oleh Undang-undang, parpol bisa menjadi
tempat yang cukup aman bagi para “pencari suaka keadilan” dengan catatan
memberi mau memberi sumbangan. Mereka yang bermasalah dengan hukum
bersembunyi dibalik tameng parpol agar aman dari kejaran pengadilan.
Tentu, kondisi ini makin memperburuk lagi citra parpol. Bagaimana
langkah preventif untuk mencegah itu semua?
Momentum
Cara
terbaik untuk menanggulangi makin maraknya penyelewengan (baca korupsi)
dalam lembaga parpol adalah dengan menjalankan mekanisme hukum secara
tegas, tidak tebang pilih dan memberikan hukuman yang dapat memberi efek
jera. Hanya dengan langkah ini, benang kusut korupsi di tubuh lembaga
parpol dapat direduksi, jika tidak mungkin dieliminasi.
Momentum
penegakan hukum secara tegas itu kini ada di depan mata. Kasus penyuapan
yang menyeret nama Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, adalah
tonggaknya. Meski berasal dari the rulling party, KPK tak boleh sungkan
dan enggan untuk mengusut tuntas kasus ini.
Apalagi SBY, sebagai
dewan pembina partai ini telah mengeluarkan statemen yang menyejukkan.
Ia tidak akan melindungi orang-orang yang bermasalah dengan hukum,
meskipun ia menduduki jabatan strategis di dalam struktur partai yang ia
bidani itu. Jaminan ini harus digunakan KPK dengan baik sebagai pintu
masuk utama untuk mengusut korupsi di tubuh lembaga partai politik.
Komitmen
SBY ini bisa dimaknai dua arah. Pertama, komitmen ini menjadi bahan
yang cukup menyegarkan bagi KPK sebagai bentuk dukungan untuk terus
melakukan pemberantasan di bidang korupsi. Jika momen ini tak diambil
alih segera oleh KPK, maka dikhawatirkan proses pengusutan korupsi
dilembaga parpol akan kembali lagi ke titik nol.
Kedua, komitmen
SBY ini menjadi bukti bahwa ia adalah presiden yang memang tegas melawan
kasus korupsi. Tentu masih hangat dalam ingatan kita bagaimana SBY tak
melakukan intervensi terhadap kasus besannya, Aulia Pohan. Kasarnya,
Aulia Pohan saja tidak mendapat campur tangan SBY, apalagi hanya sosok
seperti M Nazaruddin.
Oleh karena itu, ini adalah momen penting
dalam pemberantasan korupsi di tubuh lembaga parpol. Agar pesismisme
masyarakat terhadap lembaga ini, seperti terekam dari survei
Transparansi Indonesia, bisa diperbaiki. Karena sekali lagi jika
momentum ini lewat, pemulihan citra lembaga parpol akan menunggu lagi
hingga waktu yang belum diketahui kapan akan datang lagi momen yang
sama.