Home
Biografi Agus Miftach
Tentang FPN

March 27, 2009
Pengajian TWU 214 : Pemilu 2009, Kasus DPT dan Solidaritas Ekonomi

In Pengajian | no comments yet | permalink

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkah hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan,Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Al-Baqoroh : 261.
Kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik-multiperspektif, baik dari perspektik teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi dll, secara holistis dan komprehensif, agar dapat diperoleh pemahaman yang utuh dan menyeluruh serta hikmah yang setinggi-tingginya, insya Allah”

Ketua Umum BEM UIN Lukman menyampaikan piagam penghargaan kepada Ketua Umum FPN KH, Agus Miftach usai berceramah dalam acara Dialog Nasional di UIN Ciputat, Jakarta.

Pokok Bahasan

Asbabun-nuzul ayat ini berkaitan dengan pembiayaan ekspedisi-ekspedisi pasukan Islam yang memerlukan dukungan kaum Muslimin. Ibnu Katsir mencontohkan infak untuk jihad, seperti pengadaan kavaleri, perlengkapan senjata dsb. Sementara itu Ibnu Abbas mengataka, “Dirham yang diinfakkan dalam jihad dan haji akan dilipatgandakan hingga 700 kali lipat.” Dalam hal ini kalimat, “kamatsali habbatin ambatat sab’a sanaabila fii kulli sumbulatim-mii’atu habba(tin)” : “serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.”; Kalimat ini tidak hanya dipahami secara harfiah, melainkan lebih dari itu merupakan motif transenden yang dapat menggerakkan dukungan financial bagi perjuangan jihad di medan perang, sesuai dengan kondisi yang dihadapi ummat Islam di masa awal itu. Pengertian “sabilillah” dalam ayat ini secara eksplisit adalah perang. Oleh karena itu pengertian harfiah-nya dikemukakan dengan istilah ‘jihad’ yang bermakna perang. Latar belakang historiograf seperti dikemukakan Ibnu Abbas kemudian Ibnu Katsir adalah perang dalam rangka mempertahankan ummah (komunitas muslim) di Madinah.

Jika orang berpendapat bahwa angka 700 kali lipat dimaksud ayat ini bersifat harfiah duniawi agaknya kurang tepat, dan kurang dapat dijadikan dasar motivasi. Karena jika demikian, maka orang akan berinfak karena ingin mendapatkan kelipatan harta dalam arti materialistic (duniawi). Padahal motif infak itu seharusnya bersifat transenden (ukhrowi). Perhatikan hadiets ini :

Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ada seorang yang menyedekahkan seekor unta yang rompeng hidungnya untuk pasukan Islam. Maka Rasulullah saw bersabda (412),”Niscaya ia akan datang pada hari kiamat membawa 700 ekor unta yang rompeng hidungnya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i). Balasan 700 kali lipat itu menurut hadiest ini adalah di hari kiamat, bukan di hari-hari duniawi.

Di zaman ini dimana perang bukan lagi cara yang tepat untuk mempertahankan eksistensi kaum Muslimin dan peradaban Islam, maka pengertian jihad fi sabilillah lebih bergeser secara substantive sebagai perjuangan social, dalam rangka mewujudkan kecerdasan, kemakmuran dan keadilan. Yaitu negasi kearah bentuk kebudayaah dan peradaban yang lebih tinggi. Maka visi duniawi yang impulsive dan visi ukhrowi yang dogmatis dalam ayat diatas memperoleh makna rasional yang lebih estetis. Suatu bentuk equilibrium yang menjadi energy bagi pembangunan kehidupan dalam arti yang sebenarnya. Ayat ini menuntut bukti di zaman ini Islam sebagai agama peradaban yang bersumber dari perilaku efektif kaum Muslimin.

Jihad kaum Muslimin dan Pemilu di Indonesia

Indonesia adalah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Saat ini penduduk Indonesia seluruhnya mecapai sekitar 250.000.000 jiwa, sekitar 225 juta pemeluk Islam dalam arti budaya. Republik Indonesia setelah reformasi 1998 disebut-sebut juga sebagai Negara Demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kini di tahun 2009 bangsa Indonesia tengah menghadapi Pemilihan Umum kolosal yang sangat krusial akibat persaingan politik yang tidak sehat dari partai-partai politik utama dan figur-figur politik utama.


SBY – AT Mega-HB X MJK-Hidayat NW

Terdapat 38 parpol perserta pemilu nasional dan 6 parpol local peserta pemilu otonomi khusus NAD. Tetapi dari 38 parpol itu hanya 7 parpol yang diperkirakan mampu meraih suara yang signifikan, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Tokoh-tokoh yang diunggulkan sebagai kandidat Calon Presiden dari Partai-partai tsb adalah : SBY, MJK, Megawati, Hidayat NW, Suryadarma, Wiranto dan Prabowo.

Dari ketujuh Calon Presiden itu, tiga berlatarbelakang militer, yaitu Jenderal (Pur) SBY, Jenderal (Pur) Wiranto dan Letjen (Pur) Prabowo. Dari segi budaya agama ketujuhnya berlatarbelakang Muslim. Diluar ketujuh tokoh pemimpin parpol itu terdapat 3 tokoh yang berpotensi sebagai Capres yaitu Akbar Tanjung (P.Golkar), Sri Sultan HB X (P.Golkr) dan Letjen (Pur) Sutiyoso (independen).

Dari posisi 10 tokoh itu, kemungkinan akan mengkerucut menjadi tiga pasangan unggulan, yaitu :

1. SOESILO BAMBANG YUDOYONO – AKBAR TANJUNG,
2. MEGAWATI – HAMENGKUBUWONO X, dan
3. M. JUSUF KALLA – HIDAYAT NUR WAHID

Diperkirakan dalam putaran kedua, akan berhadapan pasangan SBY-AT lawan Mega-HB X. Ini bisa menjadi persaingan yang cukup ketat. Meski demikian berbagai polling menunjukkan SBY diatas angin. Suatu polling SBY-AT yang dilakukan oleh LIPI, CSIS, UI dan LP3ES menunjukkan data dukungan yang mengejutkan yaitu 37,4 %, yang menurut Enceng Sobari pengamat politik dari LP3ES, pasangan SBY-AT bahkan bisa menang sekali putaran. Suatu prediksi yang terlalu optimis.

Hal yang memprihatinkan dalam perkembangan politik di Indonesia adalah penafsiran kebebasan yang melampaui makna demokrasi itu sendiri. Penafsiran kebebasan secara berkelebihan dalam banyak kasus pilkada telah melahirkan anarkhisme dan vandalism yang justru merusak demokrasi. Belum lagi money politik dan kecurangan yang merusak moral dan kualitas pemilu di Indonesia. Penggunaan uang sebagai instrument politik secara berkelebihan telah menjadikan politik biaya tinggi yang memaksa para politisi melakukan korupsi, manipulasi atau berhutang dalam jumlah besar yang akhirnya merusak makna persaingan politik menjadi perseteruan yang tidak sehat dan immoral. Ini bahkan akan berujung dengan hancurnya demokrasi itu sendiri dan beralih menjadi konflik social. Inilah penyimpangan demokrasi.

Kiri ke kanan : Mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman SS, Ketua KPUD Jatim Wahyudi Purnomo dan Kapolri Jenderal Pol BHD.

Kini ditengah situasi pemilu 2009 muncul isyu berbahaya mengenai penggelembungan DPT dan kecurangan sistematik yang dituduhkan kepada Presiden incumbent SBY. Polri, KPUD dan BIN dituduh sebagi mesin kecurangan incumbent dalam pemilu 2009. Tetapi sejauh ini tuduhan itu tidak terbukti. Ekspose nasional kasus DPT palsu Pilgub Jatim ini berawal dari kecurangan-kecurangan dan pengulangan (putaran ketiga) serta pelaporan pidana pemilu oleh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang kalah yaitu Chofifah Indarparawangsa dan Mudjiono yang didukung PDIP dkk, kepada Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman Surjadi Sumawiredja.

Sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU, Chofifah juga melaporkan kasus pidana Pemilu Pilkada Jatim itu kepada Majelis Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah FPN (ke 209) di Jakarta yang dipimpin tokoh NU, yang disaksikan pula oleh tokoh Partai Golkar Marzuki Darusman. Hasil penyidikan Kapolda Jatim telah menempatkan Ketua KPUD Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka. Tindakan Irjen Pol Herman bila berhasil menang di pengadilan dan memenjarakan Wahyudi Purnomo, secara yuridis-politis akan berdampak batalnya hasil pilkada Jatim yang dimenangkan oleh pasangan Sukarwo-Syaifulloh Yusuf yang didukung Partai Demokrat-Partai Golkar dkk, dan dipaksa harus memasuki putaran keempat dengan ketidakpastian dan instabilitas yang dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan nasional.

Namun terdapat kesan kuat sekurangnya alasan yang cukup kuat dalam tindakan Kapolri Jenderal Pol BHD dalam membatalkan perkara pidana pemilu itu dan membebaskan Wahyudi Purnomo Ketua KPUD Jatim dari status tersangka, tidak didasarkan atas alasan politik malainkan sepenuhnya alasan hukum. Dengan kata lain, perkara pidana pemilu yang diajukan Chofifah-Mujiono berdasarkan formalitas data-data yang ada belum memenuhi sayarat perkara.

Maka tahapnya diturunkan lagi menjadi penyelidikan untuk memenuhi procedure perkara pidana. Tidak ada kepentingan jajaran pimpinan komando Mabes Polri melakukan politisasi dalam kasus ini, mereka semua para jenderal senior yang sudah mendekati masa pensiun. Mereka tidak berkepentingan terhadap siapapun dan pihak manapun yang memenangkan pemilu 2009. Pengabdian profesional menjadi pilihan tertinggi sebagai jihad mereka.

Sebaliknya terdapat dugaan kuat justru Herman-lah yang mempolitisir kasus ini, mengingat hubungan dekatnya dengan pimpinan PDIP Mega-TK. Dalam hal ini kasus DPT palsu Pilkada Jatim dapat menjadi truffal basis yang menjatuhkan SBY dan Partai Demokrat, dan sebaliknya menaikkan pamor Megawati dan PDIP-nya.

Sementara ini perebutan public opinion melalui pemberitaan media massa dimenangkan oleh pihak Herman sebagai pihak yang terkesan di dzalimi, dengan klaim bahwa kasus penggelembungan DPT pilgub Jatim ini diintervensi Kapolri, dengan pembatalan penyidikan dan pembebasan Ketua KPUD Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka. Klaim Herman di-amini parpol-parpol opposisi, seperti PDIP, P.Gerindra, P. Hanura dan PKS dan Partai-partai kecil. Mereka bahkan merencanakan suatu gerakan politik yang mengarah pada penundaan pemilu yang akan berakibat pada kekosongan kekuasaan dan chaos dan pada akhirnya dapat menjatuhkan pemerintah SBY.

Mereka akan mengerahkan massa mahasiswa dan masyarakat secara luas (diperkirakan 3-8 April). Ini merupakan bentuk persaingan politik yang tidak sehat dan membahayakan Negara. Saya yakin DPT yang asli dan benar dapat di klarifikasi oleh pemerintah dan KPU. Pemerintah harus mampu mengembangkan kerjasama yang kondusif dengan kalangan media massa untuk meluruskan public opini. Sejauh ini Menkominfo Muhammad Nuh tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan dan termangu dalam ketidakmengertiannya.

Masih adakah spirit jihad dalam Pemilu 2009 ini ? Dimanakan nilai estetis Demokrasi yang berasaskan fair-play? Dimanakah nilai estetis ketauhidan yang bersendikan pada azas “fastabikul khoirot”? Rasanya sebagai bangsa dan sebagai umat, kita sudah melenceng jauh dari pemaknaan jihadi -demokrasi. Hedonisme kekuasaan nampaknya menjadi motivasi utama, tampak dengan dihamburkannya dana trilyunan rupiah untuk iklan-iklan politik, sementara dalam jumlah besar rakyat hidup dalam kemiskinan. Pada umumnya platform parpol hanya terdiri slogan-slogan sampah, dan sama sekali tidak mengindikasikan satu perjuangan untuk mencapai suatu kondisi social ekonomi ideal. Bahkan dapat dikatakan kadar intelektual elit parpol masih jauh dari standard kepemimpinan politik.

Distorsi kasus penggelembungan DPT menimbulkan ketiakpercayaan pulik yang meluas terhadap krebilitas Pemilu dan kejujuran Pemerintah serta KPU. Ini bisa berlanjut dengan ketidakpastian politik yang berlarut dan chaotic, yang bisa menggagalkan pemilu, menghancurkan proses demokrasi, bahkan menghancurkan state-system. Presiden SBY perlu segera mengambil tindakan tegas dan darurat untuk tetap melaksanakan Pemilu sesuai jadwal konstitusional, dengan segala konsekwensi yang harus dihadapi. Hal itu jauh lebih baik daripada terjerumus kepada penundaan pemilu dan chaos.

Sementara itu untuk menghindari pembusukan money politik mestinya partai-partai Islam dapat mempelopori infak dalam rangka solidaritas ekonomi yang akan dapat menciptakan koherensi nasionalisme-religius yang produktif yang akan sangat penting artinya bagi emansipasi dan sublimasi bangsa kedepan. Infak adalah salah satu instrument Tauhid yang penting artinya dalam mengantarkan suatu masyarakat atau suatu bangsa untuk mencapai perubahan social ekonomi yang adil dan progresif. Mengapa menempuh money politik yang illegal yang merusak moralitas-sosial dan menghancurkan moral-demokrasi ? Sekian, semoga Indonesia selamat, insya Allah.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 26 Maret 2009.
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional/
Pemimpin Jama’ah Wahdatul Ummah.