Angkot di Padang kebanyakan berbasis Suzuki Carry atau Kijang kapsul.
Setelah dimodif, tampilannya tak kalah dengan mobil-mobil di film The
Fast and The Furious yang dibintangi Vin Diesel.
Full modifikasi, mulai body kit sampai sound system dan layar LCD, plus
lampu-lampu warna-warni penghias luar dalam. Ada pula yang di-ceper-kan
(rendah ke tanah). Dari depan, ada yang terlihat seperti lambang
Autobot-nya Transformers, garang ala film balap penjara Death Race, atau
bahkan membentuk hidung McLaren F1.
Stiker tulisan dan berbagai logo juga menghiasi sekujur badan angkot.
Ala mobil balap penuh sponsor. Dan, yang unik, tidak sedikit yang
memasang kamera di dalam mobil untuk mengawasi para penumpang!
Bukan satu-dua saja. Hampir semua angkot di Padang seperti itu. Jadi,
kalau nongkrong di perempatan, ketika ada dua atau lebih angkot berjajar
menunggu lampu menyala hijau, pemandangannya seperti garis trek lurus
start/finish sebuah sirkuit. Seperti melihat prosesi start ajang
balapan.
Kalau malam lebih seru lagi. Warna-warni lampu begitu mencolok. Musik
hip-hop (bukan dangdut koplo) mendentum di setiap mobil, membuat semua
menjadi seperti diskotek berjalan. Fasilitas luar biasa mengingat
ongkosnya hanya Rp 2.000 sekali naik (bisa Rp 3.000 hingga Rp 4.000
kalau jauh).
Memang, Padang bukan satu-satunya kota yang punya angkot nyentrik di
Indonesia. Balikpapan, Kalimantan Timur, juga begitu. Manado, Sulawesi
Utara, juga begitu. Hanya, di Balikpapan dan Manado masih ada aliran
modifikasi "agak elegan." Kalau di Padang, benar-benar ekstrem permak
wajah dan dalam mobil.
Kalau dicari-cari, tidak ada yang tahu persis kapan fenomena angkot
modifikasi ala balap itu dimulai. Namun, menurut Yudha Putra, 33, angkot
"keren" mulai terlihat sejak akhir 1990-an "Tapi, modifikasi ketika
awal-awal itu baru sederhana. Belum seperti saat ini," kata Yudha, sopir
angkot jurusan Siteba-Pasar Raya Padang, kepada Padang Ekspres (Jawa
Pos Group/JPNN).
Kijang kapsul yang dikendarai Yudha berwarna biru, keluaran 2000. Mobil
itu nyaris penuh stiker. Ceper, plus variasi spoiler di depan dan
belakang. Lampu di bagian depan berwarna biru kerlap-kerlip, senada
dengan warna mobil. Sound system begitu mencolok, beberapa speaker besar
menghiasi ruang penumpang.
Kata Yudha, modifikasi ekstrem mungkin baru dimulai sekitar 2004. Sejak
saat itu hampir semua jurusan dalam kota diisi oleh "mobil-mobil balap."
Mulai saat itu juga, hiasan LCD, kamera, dan lain-lain mengisi
interior.
Riko Syafrianto, 30, sopir angkot lain, menyebutkan modifikasi angkot
baginya adalah untuk peningkatan rasa percaya diri ketika berebut
penumpang. "Ada rasa bangga jika mobil yang kami bawa itu bagus dan
modifikasinya mantap. Tapi, sopir lain mungkin bisa jadi punya pendapat
lain," tuturnya. Riko menambahkan, modifikasi angkot ikut menentukan
jumlah setoran ke juragan atau pemilik angkot. Itu juga semakin
menunjukkan pentingnya modifikasi dalam menarik minat penumpang.
"Kalau modifnya sederhana, paling setorannya antara Rp 110 ribu sampai
Rp 130 ribu sehari. Tapi, kalau full modif, setoran bisa mencapai Rp 170
ribu per hari," ungkapnya. Pentingnya modifikasi untuk meningkatkan
omzet itu ditegaskan Muhammad Dayat, 25, sopir jurusan Batas
Kota-Tabing-Pasar Raya Padang. Apalagi, kalau ingin merebut segmen anak
sekolah, yang merupakan pangsa pasar utama angkot.
"Orang Padang ini seleranya sangat memilih. Kalau hanya polos atau
standar, mereka tidak mau naik mobil kita. Jika sudah demikian, tentu
saja kita kalah bersaing. Lihat saja ke sana, yang modif penuh
penumpang, yang polos lebih sepi," sebut Dayat sembari menunjuk beberapa
angkot yang lewat di depannya.
Modifikasi angkot adalah biaya ekstra yang "wajib" dikeluarkan pemilik
dan sopir angkot. Biayanya pun bervariasi. Ada yang hanya Rp 5 juta. Ada
yang lebih dari Rp 40 juta. Angkot Suzuki Carry yang disopiri Muhammad
Dayat termasuk paling ekstrem, habis lebih dari Rp 40 juta.
"Bayangkan saja. Untuk sound system saja sudah Rp 28 juta. Plus
perombakan bodi. Misalnya menukar ekor Suzuki Carry dengan ekor Toyota
Avanza, yang habis sekitar Rp 12 juta. Belum lagi pembuatan
variasi-variasi dari fiber lain untuk luar dalam," beber Dayat.
Siapa yang membiayai modifikasi" Jika pemilik angkot tidak mau
mengeluarkan biaya, biasanya sopir akan mencari pinjaman. Lantas sang
sopir mengangsurnya setiap hari dari potongan setoran. Tidak jarang ada
sopir yang berani mendanainya sendiri. "Cuma kalau para sopir, biasanya
mendanai yang ringan-ringan saja. Misalnya, memasang berbagai stiker di
bodi atau boneka-boneka di bagian dalam. Yang besar-besar, juragan yang
mendanai," terang Syafrion, 36, sopir angkot Tabing-Pasar Raya Padang.
Sejumlah pemilik angkot mengaku modifikasi sudah menjadi keharusan.
"Kalau tidak, tidak ada sopir yang mau mengoperasikan angkot. Mereka
beralasan angkot polos tidak laku," sebut Afif Syahril, 45, pemilik
angkot Siteba-Pasar Raya Padang.
Pemilik angkot, seperti Afif, sebetulnya tak mau tahu soal modifikasi.
"Tapi, ini sudah menyangkut pendapatan. Ya, mau bagaimana lagi. Harus!"
tandasnya. Persaingan modifikasi pun memberikan berkah bagi
bengkel-bengkel modifikasi di Padang. Bila bengkel di kota lain harus
memburu pasar penggemar otomotif, di Padang pasar utamanya mungkin
justru angkot.
Zam Januik, 40, yang kerap dipanggil dengan nama Zamzami, termasuk yang
menuai keuntungan dari adu modifikasi angkot ini. Dia mengaku
berinvestasi membuat toko cutting sticker EPM di Jalan Aru, Kecamatan
Padang Timur, gara-gara angkot. Hendera Rahman, 46, pemilik sebuah
bengkel modifikasi lain, mengaku memperoleh pendapatan lumayan. "Yang
masuk bengkel saya mengeluarkan biaya Rp 2,5 juta hingga Rp 28 juta,"
ujarnya.